Rabu, 23 Maret 2016

Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembangunan Agribisnis

KWT, Srigati. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pembangunan Agribisnis
Paradigma pembangunan sektor agribisnis ke depan adalah sistem agribisnis berkelanjutan yang berada dalam lingkup pembangunan manusia dan masyarakat. Paradigma pembangunan agribisnis bertumpu pada kemampuan masyarakat untuk mewujudkan kesejahteraannya dengan kemampuan sendiri. Pembangunan agribisnis modern merupakan langkah strategis mewujudkan pembangunan agribisnis yang menempatkan pembangunan berorientasi pada manusia dan masyarakat. Pembangunan sektor agribisnis perlu dirumuskan sejalan dengan paradigma baru pembangunan pertanian, yaitu peningkatan kualitas dan profesionalitas sumberdaya manusia tani sebagai pelaku aktif pembangunan. Pembangunan agribisnis perlu dirumuskan untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam dan teknologi tepat guna yang murah, sederhana, dan efektif disertai penataan dan pengembangan kelembagaan di pedesaan. Pembangunan sektor agribisnis dengan paradigma baru ini diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat pedesaan yang akan menjadi pendorong pertumbuhan sektor non- agribisnis. Keterkaitan sektor agribisnis dan non-agribisnis di pedesaan akan semakin cepat terjadi bila tersedia prasarana ekonomi yang mendukung kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan. Pembangunan agribisnis patut mengedepankan potensi kawasan dan kemampuan masyarakatnya. Keunggulan komparatif yang berupa sumberdaya alam perlu diiringi dengan peningkatan keunggulan kompetitif yang diwujudkan melalui penciptaan sumberdaya manusia tani yang makin profesional. Masyarakat tani, terutama masyarakat tani tertinggal sebagai sasaran pemberdayaan masyarakat, perlu terus didampingi menuju manusia tani yang maju, mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Sumberdaya alam dan manusia harus menjadi dasar bagi pengembangan sektor agribisnis masa depan. Dengan demikian perlu dirumuskan suatu kebijaksanaan pembangunan yang mengarah pada peningkatan kemampuan dan profesionalitas petani dan masyarakat pedesaan untuk dapat memanfaatkan sumber-daya alam secara optimal dan lestari dengan memanfaatkan rekayasa teknologi tepat guna untuk meningkatkan produktivitas, pendapatan petani, kesejahteraan masyarakat serta menghapus kemiskinan. Arah pembangunan agribisnis menurut paradigma baru ini dapat diwujudkan terutama melalui upaya pemihakan dan pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat tani dilakukan sesuai dengan potensi, aspirasi, dan kebutuhannya. Pemberdayaan masyarakat adalah serangkaian proses dalam mencapai kemandirian masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memfasilitasi masyarakat agar mampu menganalisis situasi kehidupan dan masalah-masalahnya, serta menjawab masalah berdasarkan kemampuan dan keterbatasan yang mereka miliki; mengembangkan usahanya dengan segala kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki sendiri; dan mengembangkan sistem untuk mengakses sumberdaya yang diperlukan. Pada intinya, masyarakat adalah penentu dan pengambil keputusan pada setiap kegiatan yang akan mereka lakukan dan menjadi bagian dalam keseluruhan proses pembangunan. Pemberdayaan masyarakat merupakan ungkapan lain dari tujuan penyuluhan pembangunan. Tujuan ini meliputi bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri atau berdaya, mampu bekerja sama, mampu mencari dan menangkap informasi, serta mampu mengambil keputusan. Dalam hal ini, yang menjadi sasaran pemberdayaan adalah masyarakat tani yang terdiri dari petani, wanita tani, dan pemuda tani. Petani sebagai pelaku utama pembangunan pertanian perlu diberdayakan agar mereka mampu menganalisa masalah dan peluang yang ada serta mencari jalan keluar sesuai sumberdaya yang dimilikinya. Pemberdayaan masyarakat tani merupakan konsep yang dikembangkan untuk memperkuat kemandirian petani. Dimensi pemberdayaan masyarakat tani meliputi peningkatan pengetahuan dan kemampuan petani melalui penyuluhan dan pelatihan, pengembangan jaringan usaha melalui kerjasama, koordinasi dan komunikasi, serta peningkatan peran pembinaan melalui motivasi, fasilitasi, dan bimbingan teknis. Pemberdayaan masyarakat tani merupakan proses penyerahan atau menghadirkan kekuasaan dari kekuasaan peran, keahlian, dan sumber daya. Hal ini bertujuan untuk menciptakan kemampuan seseorang atau kelompok dalam melakukan tindakan agar kuat dalam menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Kekuasaan peran yaitu kemampuan seseorang atau kelompok untuk mengambil keputusan dan memberlakukan serta menerapkan keputusan itu secara taat azaz seperti kognisi, afeksi, dan psikomotorik harus dilandasi oleh tumbuhnya kemampuan aspek konasi yaitu kemampuan memiliki dan memelihara tumbuh kembangnya keinginan, harapan, dan cita-cita pada diri petani sebagai subjek pelaku utama pembangunan pertanian. Kekuasaaan keahlian yaitu kemampuan seseorang atau kelompok untuk bertindak yang didasari oleh penguasaan terhadap ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, sehingga memiliki kecakapan dan keahlian khusus. Kekuasaan sumberdaya merupakan kemampuan dan kekuasaan seseorang/kelompok untuk menguasai dan memanfaatkan (kontrol dan akses) terhadap sumberdaya tanah, air, modal, sarana produksi, alsintan, teknologi, informasi, pasar, dan sebagainya. Pemberdayaan pada dasarnya mencakup 3 (tiga) aspek yaitu meningkatkan peran petani sebagai usahawan yang handal berorientasi agribisnis; meningkatkan keahlian petani dalam berbagai hal berkaitan dengan agribisnis secara menyeluruh sehingga dapat mengambil keputusan secara tepat dan mandiri, tidak saja di sektor “on farm” tetapi juga disektor “off farm”; dan mampu mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien seperti tanah, tanaman, ternak, ikan, tenaga kerja, dan sebagainya. Pemberdayaan masyarakat tani meliputi 3 (tiga) hal yaitu : 1) Secara ekonomi masyarakat tani mampu, antara lain : a) Mampu dalam mengakses informasi (pasar, dsb.); b) Mampu dalam menghadapi persaingan; c) Mampu dalam akses permodalan; d) Mampu dalam pemupukan modal; e) Mampu dalam mempertahankan produksi. 2) Secara teknis menguasai, dalam teknologi pertanian antara lain : a) Menguasai berbagai teknologi produksi; b) Menguasai permasalahan produksi; c) Menguasai solusi/pemecahan masalah produksi. 3) Secara sosial solid dan kompak dalam membangun dan mengembangkan kelompok, antara lain : a) Kompak dalam pengorganisasian dan pengendalian kelompok; b) Kompak dalam kelompok dan kerjasama antar kelompok; c) Kompak menjalankan program kelompok; d) Kompak dalam mengatasi permasalahan dan resiko kelompok. Pada prinsipnya tujuan pemberdayaan masyarakat tani berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan tidak hanya meliputi aspek ekonomi (lapangan kerja dan pendapatan) tetapi juga meliputi aspek sosial (pendidikan, kesehatan dan agama), lingkungan sumberdaya serta pemukiman dan infrastruktur. Pengembangan aspek ekonomi penting untuk mengembangkan lapangan kerja dan berusaha serta meningkatkan pendapatan, adapun aspek sosial penting untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), iman dan taqwa (IMTAQ) serta sikap dan perilaku kualitas sumberdaya manusia (SDM). Aspek lingkungan penting untuk pelestarian sumberdaya alam serta perbaikan pemukiman. Aspek infrastruktur ini dibutuhkan untuk memperlancar mobilitas pelaksanaan kegiatan ekonomi dan sosial. Keempat aspek tersebut (sosial, ekonomi, lingkungan, dan infrastruktur) harus ditunjang oleh kelembagaan sosial ekonomi yang kuat dan dikembangkan secara seimbang agar kesejahteraan dapat ditingkatkan secara optimal. Keberhasilan dalam peningkatkan pendapatan (ekonomi) akan dipengaruhi oleh kegiatan usaha yang bisa dikembangkan dan permodalan yang dapat disediakan serta kondisi pasar yang mendukungnya. Keberhasilan kegiatan usaha itu sendiri akan dipengaruhi oleh kondisi sumberdaya yang ada, teknologi yang tersedia serta kualitas SDM yang akan mengelolanya. Kualitas sumberdaya manusia yang dicirikan oleh perilaku, IMTAQ serta wawasan IPTEK, kondisinya sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tingkat pendidikan, kesehatan dan agama serta adat dan budaya. Hal tersebut penting untuk diperhatikan dan dikembangkan dalam rangka pengembangan ekonomi yang meliputi manajemen usaha tani, kemitraan dan kelembagaan yang dikelolanya. Selain itu, peran lembaga keuangan juga sangat diperlukan dalam proses pemberdayaan masyarakat terutama membantu masyarakat tani terhadap akses permodalan. Sejalan dengan arah pembangunan agribisnis tersebut, peran pemerintah adalah mempertajam arah pembangunan untuk rakyat melalui penguatan kelembagaan pembangunan, baik kelembagaan masyarakat tani maupun kelembagaan birokrasi. Penguatan kelembagaan pembangunan sektor agribisnis dilakukan melalui pembangunan partisipatif untuk mengembangkan kapasitas masyarakat, dan berkembangnya kemampuan aparat dalam menjalankan fungsi lembaga pemerintah yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Prinsip pembangunan partisipatif adalah mengikutsertakan masyarakat secara aktif dalam setiap langkah pembangunan, sedangkan pemerintah memberikan fasilitas dan pembinaan kepada masyarakat dalam melaksanakan program ekonomi. Penerapan prinsip pembangunan partisipatif perlu dipahami sebagai proses dan langkah pembangunan yang mengikut-sertakan masyarakat tani sejak dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengendalian, evaluasi, pelaporan, pemeliharaan, dan pelestarian hasilnya. Pembangunan kelembagaan perlu diletakkan sebagai wawasan pembangunan karena menyangkut aspek kelembagaan pendukung pelaksanaan pembangunan secara efektif. Pembangunan yang efektif dapat dicapai bila pelaksanaan sesuai pedoman yang disepakati bersama (musyawarah dan mufakat), penyiapan masyarakat dalam menyelenggarakan sendiri pembangunan secara sistematis, pembu-dayaan kebiasaan-kebiasaan proses pembangunan yang partisipatif, dan pengembangan peranserta masyarakat melalui sikap kebersamaan (cooperative) yang diwujudkan melalui pendampingan yang dilakukan oleh masyarakat yang sudah mampu kepada masyarakat yang masih tertinggal. Kelembagaan (atau institusi) adalah pranata-pranata dan aturan main yang mengatur lalu-lintas ekonomi, sosial, politik, dan hukum. Kondisi krisis dewasa ini menggaris-bawahi adanya berbagai kelemahan insititusi-institusi tersebut. Sehingga pembenahan institusi di segala bidang perlu menjadi prioritas utama dalam upaya pembangunan nasional. Institusi adalah aturan main yang mengatur para pesertanya. Sehingga perlu dipahami bahwa aturan main ini artinya pengaturan pemerintah dan bahwa institusi adalah institusi pemerintah. Tiga kelompok institusi penting yang perlu diberdayakan dalam kehidupan ekonomi nasional, yaitu pasar, lembaga-lembaga negara/pemerintah, dan lembaga-lembaga masyarakat. Ketiga institusi tersebut saling mengisi dengan sendirinya, dan bukan saling berebut peran. Dalam sistem ekonomi yang ada dan yang akan berkembang di masa depan, terutama dalam era global ini, institusi pasar adalah yang dominan. Karena institusi pasar telah menjadi salah satu arus besar dunia (megatrend). Oleh karena itu, perangkat pemerintah harus mampu menyesuaikan diri terhadap perkembangan ini sesegera mungkin. Tantangan yang dihadapi oleh seluruh kelembagaan pembangunan dalam menyelenggarakan pembangunan kelembagaan adalah melakukan perubahan sikap secara sadar dan meningkatkan profesionalisme. Perubahan sikap dimulai dengan sikap serba melayani, mengayomi, meneladani dan mendorong prakarsa dan peranserta aktif masyarakat. Birokrasi dituntut untuk semakin terbuka, luwes, dan tanggap terhadap perubahan dan kepentingan masyarakat dan berorientasi pada kebijaksanaan untuk mewujudkan pemerataan dan keadilan dalam pelayanan. Dengan demikian, memberdayakan petani dan keluarganya melalui penyelenggaraan program-program pemberdayaan masyarakat dalam wadah kelembagaan pada intinya ditujukan untuk mencapai masyarakat tani yang tangguh dalam membangun pertanian yang maju, efisien, dan tangguh untuk mencapai tujuan yang lebih besar khususnya dalam menghadapi pihak-pihak lain. Sehingga tujuan akhir dari pemberdayaan masyarakat tani ini adalah peningkatan kesejahteraan serta pendapatan petani dan keluarganya dapat terpenuhi. Referensi: Ismawan, B. dan Budiantono, 2005. Mapping Microfinance in Indonesia. Jurnal Ekonomi Rakyat. Edisi Maret 2005. Hal 38-42. Salman, D. 2009. Kerangka Community Development Dalam Pengelolaan Social Forestry.www.darmawansalman.blogspot.com. Diakses tanggal 26 Desember 2011. Saptana, T; Pranadji; Syahyuti dan Roosganda, E.M., 2003. Transformasi Kelembagaan untuk Mendukung Ekonomi Kerakyatan di Pedesaan. Laporan Penelitian. PSE. Bogor. Saragih, B, 2002. Pengembangan Agribisnis dalam Pembangunan Ekonomi Nasional Menghadapi Abad ke 21. http/www. 202. 159. 18. 43/jsi.htm (online). 10 Oktober 2002.

sumber:http://karinamanise.blogspot.co.id/2012/04/konsep-pemberdayaan-masyarakat-dalam_02.html

PERANAN WANITA TANI DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

KWT. Srigati. PERANAN WANITA TANI DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

ABSTRAK
Perkembangan peran dan posisi kaum perempuan sejak masa lampau hingga saat ini telah menempatkan perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan kaum pria.  Perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai bidang.  Perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi majunya pembangunan negara ini termasuk didalamnya peran dalam bidang pembangunan pertanian.

Salah satu peran perempuan dalam membangun pembangunan pertanian yaitu dengan ikut berperan dalam menciptakan program-program yang mengarah pada pemberdayaan perempuan dengan meluncurkan program diversifikasi pangan dan gizi yaitu program yang berupaya mengintensifikasi pekarangan sebagai salah satu gerakan ketahanan pangan keluarga dan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan.
Peran perempuan sekarang ini sudah terlihat nyata dalam berbagai bidang, mereka telah banyak yang berpendidikan tinggi, mereka tak canggung dalam berjuang di masyarakat menurut bakat dan kemampuannya masing-masing.  Insinyur pertanian sebagaian besar adalah perempuan, jadi sangatlah besar peran perempuan dibidang pembangunan pertanian diberbagai daerah, dengan memposisikan dirinya sebagai pembuat lapangan kerja dibidang pertanian, sebagai motivator, dinamisator dan regulator di bidang pertanian baik yang bergerak di swasta maupun di pemerintahan.
Perempuan telah menyumbangkan jumlah waktu yang sedikit lebih rendah daripada pria dalam mencari nafkah dan kegiatan di luar rumah lainnya, namun wanita jauh lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus rumahtangga. Tugas untuk mengurus, membimbing, dan mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab utama seorang ibu.


Latar Belakang

Menurut Pudjiwati Sajogyo, 1984 dalam penelitiannya tentang peranan perempuan dalam perkembangan masyarakat desa mengungkapkan betapa besar sumbangan perempuan dalam ekonomi masyarakat dan rumahtangga maupun dalam kehidupan keluarga. Nampaknya perkembangan masyarakat desa dewasa ini memerlukan partisipasi perempuan. Dalam transisi ke arah industrialisasi seperti terutama terjadi di daerah perkotaan ternyata bahwa tenaga kerja perempuan juga mengambil peranan”.
Pernyataan tentang adanya kesempatan, hak dan kewajiban yang sama bagi pria dan wanita untuk berpartisipasi dalam segala kegiatan pembangunan seperti yang tercantum dalam GBHN 1983, telah mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja wanita dalam angkatan kerja. Meningkatnya kesempatan memperoleh pendidikan bagi rakyat, termasuk kaum wanita, maka semakin banyak wanita yang memasuki lapangan pekerjaan” (Ihromi, 1990).
Scholz menunjukkan bahwa kontribusi tenaga kerja mereka belum terungkap secara transparan. Baik bila dilihat curahan waktu dan tenaga untuk kegiatan produksi sampai pengolahan hasil dan pemasaran serta kaitannya dengan kegiatan rumahtangga. Dalam perkembangan pertanian, kembali perempuan tidak mampu untuk eksis dikarenakan masih adanya penilaian masyarakat terhadap partisipasi perempuan pada sektor pertanian yang masih mendiskriminasi perempuan serta asumsi yang menyatakan bahwa kegiatan pertanian merupakan urusan laki-laki yang dinyatakan sebagai pengelola usaha tani adalah suami atau kepala keluarga (Paris, 1987 dalam Pratiwi, 2007).
Fenomena di atas dikuatkan dengan norma dan tradisi yang hidup dalam masyarakat. Hal ini juga mengakibatkan mereka kurang menjangkau sumber-sumber ekonomis (tanah, modal dan tenaga) dan berbagai kemudahan dari pemerintah seperti pendidikan keterampilan, penyuluhan dan pelayanan lain seperti halnya kaum laki-laki, perempuan juga memiliki hak – hak asasi selaku perempuan (Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, 1988).
Perkembangan peran dan posisi kaum perempuan sejak masa lampau hingga saat ini telah menempatkan perempuan sebagai mitra yang sejajar dengan kaum pria.  Perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam berbagai bidang.  Perempuan mempunyai tanggungjawab yang sama terhadap kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi majunya pembangunan negara ini termasuk didalamnya peran dalam bidang pembangunan pertanian.
Perempuan sebagai sumber daya insani yang cukup besar jumlahnya saat ini, merupakan subyek pembangunan yang cukup handal.  Mereka adalah kekuatan potensial bangsa yang hadir dalam jumlah yang tidak hanya besar, tetapi juga berimbang jumlahnya dengan kaum pria.  Keberadaan perempuan tidak dapat diabaikan, karena kenyataan menunjukkan bahwa daya tahan fisik perempuan melebihi kaum pria yakni sekitar 64 tahun bagi perempuan dan 63 tahun bagi pria.
“Peningkatan pemahaman akan peran serta dan kontribusi perempuan dalam pembangunan pertanian akan menimbulkan pemahaman bahwa penyuluhan dan pendidikan keterampilan di bidang pertanian tidak saja ditujukan kepada kaum laki-laki tetapi juga kepada perempuan. Walaupun dalam bidang pertanian perempuan telah memiliki pengakuan secara legal di Indonesia dengan ratifikasi Convention on the Elimination of All Discrimination Against Women (CEDAW) atau Konvensi tentang Hak-hak politik perempuan dengan UU No. 68/1958 dan konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan” (Hartono, 2000).[1]


PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

Istilah ibu rumahtangga (housewife) adalah penemuan yang boleh dibilang baru. Paling lama, istilah itu baru berusia sekitar satu setengah abad ketika istilah itu memulai debutnya dalam ruang-ruang gambar dan dapur di Utara. Sejak itu, istilah ibu rumahtangga menyebar luas dan kini bisa ditemukan di segenap penjuru dunia.
Baik di dunia Timur maupun Barat, perempuan digariskan untuk menjadi istri dan ibu. Sejalan dengan ini, stereotipe yang dikenakan pada perempuan adalah makhluk yang emosional, pasif, lemah, dependen, dekoratif, tidak asertif, dan tidak kompeten kecuali untuk tugas rumahtangga. Sedangkan suami harus menanggung keluarga sehingga status mereka lebih tinggi. Mereka juga mempunyai hak untuk mengendalikan perempuan. Pandangan ini juga terdapat di lingkungan masyarakat Jawa. Perempuan disebut sebagai konco wingking bahkan ada pameoswargo nunut neroko katut.[2]
Dengan demikian biasanya perempuan disosialisasikan untuk berperan sebagai istri dan ibu. Mereka disiapkan untuk menjadi makhluk yang patuh dan tidak asertif. Hal ini bertolak belakang dengan sifat yang dinilai tinggi dalam berkarier seperti agresif, ambisius, produktif, dan sebagainya.[3]
Wanita telah menyumbangkan jumlah waktu yang sedikit lebih rendah daripada pria dalam mencari nafkah dan kegiatan di luar rumah lainnya, namun wanita jauh lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurus rumahtangga. Tugas untuk mengurus, membimbing, dan mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab utama seorang ibu. Khususnya peran ”mengurus pekerjaan rumahtangga”, seperti: memasak, mencuci, membereskan rumah dan sebagainya, pada beberapa keluarga seringkali dilakukan dengan bantuan pembantu rumahtangga, terutama pada keluarga-keluarga yang keadaan ekonominya relatif baik. Adanya pembantu rumah tangga ini sangat meringankan beban ibu uuntuk menyelesaikan pekerjaan rumahtangga yang seolah-olah tidak ada habisnya.[4]
Permasalahan baru muncul, setelah perlakuan terhadap perempuan dirasakan menimbulkan tekanan demi tekanan, kekerasan, dan ketidakadilan dalam berbagai bentuk kehidupan seperti marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi, dan diskriminasi. Satu contoh klasik betapa beratnya beban dan ketidakadilan yang dialami perempuan dikemukakan oleh the United Nations Commission on the Status of Women (1980).[5]
Pembangunan juga tidak lain dari perluasan proyek menciptakan kekayaan menurut teori ekonomi modern patriarki Barat yang memeras dan menyingkirkan perempuan (Barat dan non-Barat), memeras dan merusak alam, dan memeras dan merusak kebudayaan-kebudayaan. Oleh sebab itu, pembangunan tidak boleh tidak berarti menghancurkan perempuan, kebudayaan dan alam (Shiva, 1997 dalam Mulyawan, 2002).
Konsep pembangunan yang diterapkan di seluruh dunia kini adalah konsep barat, yang pada intinya akan mengubah alam kehidupan tradisional menjadi modern yang diwujudkan dalam struktur ekonomi industri untuk menggantikan struktur ekonomi pertanian. Di dalam masyarakat seringkali perempuan menjadi warga kelas dua, dan menjadi obyek dari berbagai upaya perubahan yang disusun dalam kerangka berfikir yang mengacu pada asumsi yang sangat bias laki-laki. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor yang menjelaskan mengapa perempuan tertinggal atau ditinggalkan dalam proses pembangunan.[7]
Pada umumnya di dalam program-program pembangunan di tingkat provinsi, kabupaten, maupun desa baik laki-laki maupun perempuan tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan. Hampir semua program kebijaksanaan bersifat top down, sehingga masyarakat hanya tinggal sebagai pelaksana program tersebut. Norma-norma tradisional seringkali masih tetap dijadikan acuan di dalam menyusun program kebijaksanaan, dan terjadi penyeragaman kebijakan untuk pembangunan di pedesaan. Di tingkat desa akses laki-laki terhadap program pembangunan lebih besar daripada perempuan.
Dari pembahasan konsep perempuan terletak pada konsep kodrat perempuan yang tersosialisasi dalam masyarakat sekarang ini sesungguhnya mengandung suatu pengertian penguatan mitos-mitos tentang perempuan. Secara jujur harus diakui bahwa konsep kodrat membatasi pencarian solusi atas permasalahan perempuan. Oleh sebab itu, ada gagasan untuk meninggalkan konsep kodrat dan digantikan dengan konsep martabat perempuan untuk memecahkan masalah yang dihadapi oleh perempuan saat ini. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa perempuan terlibat dalam
pembangunan. Berkenaan dengan hal ini persoalan yang tersisa adalah bagaimanakah dampak pembangunan di negeri ini terhadap perempuan (Noerhadi, 1989).
“Di Afrika, dimana perempuan menanam sebagian besar tanaman pangan, praktik yang konsisten mengenai pentargetan laki-laki dan akses terhadap tanah dan input pertanian, dan tidak mengikutsertakan perempuan, berpengaruh besar atas jumlah bahan pangan yang ditanam. Keyakinan tentang peran perempuan juga mempengaruhi proses land reform di berbagai belahan dunia. Asumsi bahwa laki-laki adalah petani menimbulkan akibat dalam pengakuan hak-hak tanah formal kepada laki-laki, sekali pun secara tradisional perempuan menggunakan tanah tersebut untuk menanam bahan pangan baginya keluarganya” (Moose, 1996).
Peran perempuan sekarang ini sudah terlihat nyata dalam berbagai bidang, mereka telah banyak yang berpendidikan tinggi, mereka tak canggung dalam berjuang di masyarakat menurut bakat dan kemampuannya masing-masing.  Insinyur pertanian sebagaian besar adalah perempuan, jadi sangatlah besar peran perempuan di bidang pembangunan pertanian di berbagai daerah, dengan memosisikan dirinya sebagai pembuat lapangan kerja di bidang pertanian, sebagai motivator, dinamisator dan regulator dibidang pertanian baik yang bergerak di swasta maupun di pemerintahan.
Sebagai salah satu peran perempuan dalam membangun pembangunan pertanian yaitu dengan ikut berperan dalam menciptakan program-program yang mengarah pada pemberdayaan perempuan dengan meluncurkan program diversifikasi pangan dan gizi yaitu program yang berupaya mengintensifikasi pekarangan sebagai salah satu gerakan ketahanan pangan keluarga dan masyarakat melalui pemanfaatan lahan pekarangan. Perempuan tani harus pandai mengatur, mengelola penghasilan yang relatif rendah agar mencukupi kebutuhan keluarga. Banyak perempuan tani yang bergerak dalam sektor perdagangan hasil pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (tanam hias dan anggrek), juga dalam perternakan dan perikanan.[8]
Sementara itu, perempuan tani di pedesaan juga mengurus anak-anak dan mungkin orang tua yang tinggal bersamanya. Bagi yang tidak memiliki lahan garapan, ia mencari nafkah sebagai buruh tani. Pada kenyataannya, perempuan buruh tani menerima upah lebih rendah dibanding laki-laki. Situasi tersebut terasa berat bagi perempuan petani yang sekaligus merangkap kepala keluarga yang harus menanggung anak-anak dan orang tua. Guna mengeliminir semakin banyaknya tenaga kerja muda yang hijrah ke sektor lain (non pertanian), perempuan tani yang berkiblat pada pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian memerlukan dukungan berbagai pihak. Hal ini penting untuk memberi keyakinan pada generasi muda, kader-kader pelaku bisnis pertanian bahwa sektor ini mampu memberikan jaminan hidup layak.




Kesimpulan
Dari pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa hal penting berikut.
  1. Peran perempuan sekarang ini sudah terlihat nyata dalam berbagai bidang, mereka telah banyak yang berpendidikan tinggi, mereka tak canggung dalam berjuang di masyarakat menurut bakat dan kemampuannya masing-masing.  Insinyur pertanian sebagaian besar adalah perempuan, jadi sangatlah besar peran perempuan dibidang pembangunan pertanian diberbagai daerah, dengan memposisikan dirinya sebagai pembuat lapangan kerja dibidang pertanian, sebagai motivator, dinamisator dan regulator di bidang pertanian baik yang bergerak di swasta maupun di pemerintahan.
  2. Pembangunan memiliki arti yang dipahami oleh masyarakat luas sebagai perubahan ke arah yang lebih baik dan strategi pembangunan menentukan berbagai aspek yang akan diambil sebagai salah satu tahap dalam pelaksanaan pembangunan.
  3. Ketergantungan yang besar bagi perempuan terhadap laki-laki, dan  beban kerja ganda tetap akan menjadi tanggungan dari perempuan dilihat tidak adanya nilai tenaga kerja perempuan di sektor publik yang disebabkan oleh stereotipe bahwa perempuan identik pada pekerjaan domestik.
Saran
Perempuan mempunyai akses yang sama dalam hal pembangunan pertanian. Perempuan ikut berperan dalam pengambilan keputusan. Dukungan dan partisipasi semua pihak yang terkait sangat diharapkan untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain mengurus rumahtangga, perempuan dapat membantu suami dalam mencari nafkah dan mengurus lahan pertanian atau pekarangan untuk menghidupi keluarganya.



DAFTAR PUSTAKA
Handayani, Trisakti dan Sugiarti. 2002. Konsep dan Penelitian Gender. Universitas Muhammadiyah Malang: Jawa Timur.
Hartono, Sunaryati. 2000. Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional: Jakarta.
Ihromi, T.O. 1990. Para Ibu yang Berperan Tunggal dan Berperan Ganda. Laporan Penelitian Kelompok Studi Wanita, FISIP, Universitas Indonesia. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.
Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. 1988. Analisis Studi Wanita Indonesia.  Jakarta.
Mosse, Juia Cleves. 1996. Gender dan Pembangunan. Editor: Hartian Silawati, Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre dengan Pustaka Pelajar. Terjemahan dari: Half the World, Half a Chance An Introduction to Gender and Development.
Muliawan, Andri. 2002. Analisis Gender Dalam Program-program Pembangunan Bidang Pertanian. Diajukan sebagai skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB.
Pratiwi, Novia. 2007. Analisis Gender pada Rumahtangga Petani Monokultur Sayur Kasus Desa Segorogunung, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Diajukan sebagai skripsi pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, IPB.
Sajogyo, Pudjiwati. 1984. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
T.H. Noerhadi. 1989. “Bagaimana Mengatasi Kodrat”, Vol. VI, No. 2Pesantren.
Widiputranti, Christian Sri, dkk. 2005. Pemberdayaan Kaum Marginal. Editor: Sutoro Eko, APMD Press: Yogyakarta.
Wiliam, Dede.  2006. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitas Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor Barat: Center for International Forestry Research.

sumber:http://fakultaspertanianunars.blogspot.co.id/2014/01/peranan-wanita-tani-dalam-pembangunan.html

Senin, 07 Maret 2016

Rencana Kerja Jangka Menengah KWT Srigati Purwojati

KWT Srigati. Rencana Kerja Jangka Menengah KWT Srigati Purwojati

Bidang Usaha KWT Srigati Purwojati

KWT Srigati. Bidang Usaha KWT Srigati Purwojati

Bidangnya diantara lain yaitu:

  1. Pendidikan dan pelatihan
  2. Pengembangan pertanian padi dan palawija
  3. pengembangan pertanian sayuran
  4. pengolahan hasil pertanian
  5. kerajinan rumah tangga
  6. industri rumah tangga

Pengurus KWT Srigati Purwojati

KWT Srigati. Pengurus KWT Srigati Purwojati

Ketua               : Ani Sri Purwati
Wakil Ketua    : Marsonah
Sekretaris 1     :
Sekretrais 2     :
Bendahara 1    :
Bendahara 2    :


Kelompok Wanita Tani KWT Srigati Purwojati

Kelompok Wanita Tani Srigati. Kelompok Wanita Tani-KWT Srigati Purwojati

Kelompok Wanita Tani Srigati Purwojati didirikan oleh para wanita di Desa Purwojati yang kebanyakan anggotanya dari dusun Karangduren baik Karangduren Lor maupu Karangduren Kidul.
Kelompok ini didirikan untuk mengembangkan usaha wanita tani. Kelompok ini didirikan atas binaan dari Lembaga PINBUKA dari Yayasan YGNI Banyumas.

Kelompok didirikan dan diketuai oleh Ani Sri Purwati yang merupakan penggerak pertanian sistem intesifikasi padi dan sayuran.'Sebagai kelompok wanita tani yang cukup memiliki luasan tanah cukupmaka perlu pengorganisasian yang memadai.